Info Regional
Warga Desa Tongka Mengupayakan 4 Situs Bersejarah Yang Ada Di Hutan Desa Gunung Oke Menjadi Cagar Budaya
Palangkaraya, Bindo.id – Warga Desa Tongka, Kecamatan Gunung Timang, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah (Kalteng), berusaga untuk menjadikan 4 objek yang ada di wilayah Hutan Desa Gunung Oke menjadi cagar budaya.
Tujuan upaya ini yakni untuk melindungi hutan serta objek bersejarah dari ancaman eksploitasi.
Sebab, mengingat desa yang mayoritas dihuni oleh suku Dayak Tawoyan ini kaya akan kearifan lokal serta mempunyai hubungan yang erat dengan leluhur mereka.
Desa Tongka sudah memperoleh izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk melakukan pengelolaan 3 hutan desa.
Ketiganya yakni Hutan Desa Gunung Oke, Hutan Desa Kelaat Berasen, serta Hutan Desa Parewali Lisat Lestari, yang memiliki total luas sebesar 5.812 hektar.
“Seluruh hutan desa itu namanya diambil dari objek-objek penting yang ada di Desa Tongka,” tutur Direktur Save Our Borneo Muhammad Habibi, LSM pendamping warga Desa Tongka, ketika konferensi pers di Palangkaraya, Sabtu (5/10/2024).
Habibi menuturkan banyak objek di Hutan Desa Gunung Oke yang mempunyai nilai sejarah, spiritual, maupun budaya lokal.
Upaya masyarakat dalam mempertahankan hutan maupun wilayah adat mereka dilaksanakan dengan memperoleh legalitas dari negara.
“Jika objek-objek ini ditetapkan sebagai cagar budaya, perlindungan terhadapnya akan lebih maksimal, baik oleh warga maupun negara,” tutur Habibi.
Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Gunung Oke, Heti Piranata, menuturkan Hutan Desa Gunung Oke memiliki potensi 4 yang diduga cagar budaya (ODCB). Keempatnya sudah didata pada Juni 2024, yakni Tanir, Nyeloi, Batu Gadur, dan Pager Buah.
Lokasi objeknya letaknya jauh dari permukiman warga Desa Tongka.
Dia menyebutkan memerlukan waktu berjam-jam untuk menuju ke satu objek menuju ke objek lainnya.
“Keempat objek tersebut adalah Tanir, Nyeloi, Batu Gadur, dan Pager Buah. Semuanya berada dalam wilayah Hutan Desa Gunung Oke,” ujar Heti di kesempatan yang sama.
Tanir memiliki jarak sekitar 5,2 km dari kampung Tongka. Lokasinya masih satu hamparan dengan Nyeloi, gua sakral lainnya.
Namun, akses menuju ke Tanir hanya dapat dilalui dengan berjalan kaki.
Waktu yang dibutuhkan di perjalanan sekitat 4 jam. Jalurnya jarang dilewati sebab cukup jauh dari pemukiman.
Kondisi hutan yang ada di sekitarnya juga masih alami tidak tersentuh dengan aktivitas perladangan.
Heti menuturkan Tanir merupakan nama dari sebuah liang atau gua.
Di sini ada sebuah makam tua yang diduga warga sebagai milik tokoh pendiri Desa Tongka yang mereka sebut dengan Kerering.
Tanir diduga sebagai lokasi pemakaman dari Lumbing Juwata Tongka serta beberapa keturunannya.
Lumbing Juwata Tongka merupakan tokoh pendiri desa Tongka. Bukti keberadaan makam ini telah ditunjukan adanya Kerering atau bangunan yang terbuat dari kayu ulin tempat disimpannya tulang-belulang.
“Kerering ini tidak diletakan di dalam liang. Peti kayu bertutup ini diletakan di tengah kedua tiang ulin yang mengusungnya sehingga berbentuk bagai gerbang di antara liang bebatuan,” ujarnya.
Kata Heti, Nyeloi dikenal sebagai gua beracun. Perjalanan menuju ke Nyeloi dengan berjalan kaki dibutuhkan waktu sekitar 4 jam dari kampung.
Lokasinya masih satu hamparan dengan Tanir, letaknya berada di area aliran sungai Alar.
Nyeloi merupakan sebuah struktur yang berbentuk gua. Gua ini cukup luas. Pada bagian tengahnya terbuka seperti ruang/balai tempat untuk berkumpul. Sedangkan pada setiap sisinya mempunyai ruang-ruang seperti kamar.
Masyarakat percaya sumber racun berasal dari lumut-lumut berwarna hijau tua yang tumbuh di dinding bebatuan gua. Kisah ini pun diceritakan secara turun-temurun.
Kemudian ada juga Batu Gadur. Lokasinya dapat ditempuh warga lewat jalan setapak dari kampung Tongka. Jalan ini juga hanya bisa dilewati dengan berjalan kaki selama 4 jam.
Objek ini berupa batu yang mirip dengan bak air atau gadur. Berdasarkan kepercayaan masyarakat setempat, air yang berada di dalam Batu Gadur tidak dapat kering bahkan di saat musim kemarau sekalipun.
“Air yang ada di dalam batu ini juga dipercaya ajaib. Karena itu, obyek ini menjadi sakral atau dikeramatkan,” ujar wanita yang usianya 39 tahun tersebut.
Batu Gadur sebagai tempat untuk meminta permohonan (berdoa).
Permohonannya dapat apa saja, misalnya memohon kesehatan, keselamatan, kekayaan, maupun lainnya.
Caranya yakni dengan mengusapkan air dari dalam Batu Gadur ke wajah, tangan, maupun kaki.
Terakhir yakni Pager Buah. Obyek ini dari kampung berjarak sekitar 3,6 km, lokasi tepatnya berada di sebelah selatan Batu Gadur. Objek ini berupa susunan bebatuan yang ada di tengah aliran Sungai Montalat.
“Dalam bahasa Dayak Tawoyan, Pager Buah berarti Benteng Buaya. Nama ini dikenal dari legenda yang diceritakan turun-temurun kepada generasi di desa Tongka,” ujarnya.
Hingga hari ini, Pager Buah sebagai salah satu objek yang disakralkan atau dikeramatkan.
Lokasi tersebut sering jadi tempat untuk masyarakat setempat membayar nazar atau hajat.
“Pada kehidupan sehari-hari, lokasi ini menjadi tempat mencari ikan atau memancing,” ujarnya
Heti menerangkan kelompok pengelola Hutan Desa Gunung Oke telah mendaftarkan keempat objek itu sebagai ODCB yang ada di wilayah Hutan Desa Gunung Oke.
“Kami sudah mendaftarkan keempat objek ini sebagai ODCB ke Dinas Kebudayaan Kabupaten Barito Utara pada awal September kemarin, saat ini menunggu proses registrasi untuk menjadi cagar budaya,” tuturnya.
Ikuti berita terkini dari BINDO di
Google News, YouTube, dan Dailymotion