Hukum & Kriminal
RUU Perampasan Aset Berikan Izin Pada Negara Untuk Rampas Harta Terdakwa Meninggal Dunia dan Buron
Jakarta, Bindo.id – Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset menyatakan bahwa negara tetap dapat melakukan perampasan harta yang dimiliki oleh tersangka atau terdakwa kasus kejahatan yang telah meninggal atau buron sehingga tak bisa dilakukan eksekusi.
Perampasan aset disinyalir berasal dari hasil kejahatan milik tersangka atau terdakwa yang telah meninggal atau buron dilaksanakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
“Pendekatan RUU ini banyak penerapan perampasan aset tanpa tuntutan pidana,” tutur anggota tim perumus RUU Perampasan Aset, Yunus Husein, Selasa (16/5/2023).
Yunus menuturkan orang yang tak dihukum, misalnya buron maupun meninggal dunia tak dapat dilakukan eksekusi. Oleh sebab itu negara diperbolehkan untuk merampas asetnya.
Dia berpendapat pada keadaan seperti itu negara tetap dapat melakukan perampasan aset yang disinyalir berasal hasil kejahatan tanpa harus menanti hasil vonis pengadilan. Dia menuturkan mekanisme perampasan aset ini tentu dilaksanakan di pengadilan.
Jaksa penuntut umum harus mengajukan permohonan ke majelis hakim agar dapat melakukan penyitaan aset yang dimiliki oleh terdakwa meskipun vonis pengadilan belum dijatuhkan.
Dia berpendapat saat ini aturan yang berlaku yakni negara dapat melakukan perampasan aset atau barang bukti yang disinyalir berasal dari hasil kejahatan apabila keputusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap (inkrah) sudah ditetapkan.
Negara melalui Kejaksaan Agung dapat melakukan perampasan aset tanpa perlu menunggu hasil vonis pengadilan kepada tersangka atau terdakwa. Hal tersebut dapat dilakukan usai RUU Perampasan Aset disahkan menjadi undang-undang.
Apabila pengadilan telah memberikan keputusan bahwa aset yang disita tak ada kaitannya dengan perkara, maka negara wajib untuk mengembalikan aset tersebut. Metode pengelolaan aset yang berasal dari hasil kejahatan yang disita, pemerintah dapat mencontoh Belanda.
Yunus mengungkapkan pemerintah Belanda memberlakukan metode menjual seluruh barang-barang sitaan dari hasil kejahatan dengan harga yang berlaku saat barang tersebut disita. Uang hasil penjualan aset dari hasil kejahatan yang telah dirampas tersebut disimpan di lembaga pengelolaan.
Setelah itu, apabila pengadilan memutuskan ada aset yang harus dikembalikan oleh negara, maka negara akan mengembalikan aset tersebut dalam bentuk uang. Jumlah uang yang dikembalikan berdasarkan hasil penjualan.
Ini merupakan salah satu alasan agar dapat mengajukan permohonan untuk melakukan penyitaan aset tanpa harus memberikan hukuman kepada pelakunya.
“Kalau di pengadilan tidak terbukti aset yang disita harus dikembalikan, jadi harus dikembalikan kalau tidak bersalah,” tuturnya, dilansir dari kompas.
Dia menyebutkan bahwa mekanisme perampasan aset harus melalui pengadilan. Oleh sebab itu, pada proses penyelidikan maupun penyidikan, penyidik tak dapat melakukan perampasan secara sepihak.
Hal ini memberikan kesempatan untuk pihak ketiga atau pihak berkepentingan agar dapat menyangkal bahwa aset yang disengketakan tak memiliki kaitan dengan perkara. RUU Perampasan Aset juga terdapat batasan perkara yang dapat dilakukan perampasan yaitu ancaman hukuman 4 tahun lebih. Minimal jumlah aset yang dirampas ditentukan senilai Rp 100.000.000.
“Kenapa Rp 100.000.000. Dalam kasus narkotika misalnya yang disita misalnya asbak, buat apa barang-barang kecil ngerepotin kita,” tuturnya.
Oleh sebab itu, menurutnya harus ada nilai yang signifikan.
Ikuti berita terkini dari BINDO di
Google News, YouTube, dan Dailymotion