Connect with us

Ekonomi

Sengketa Laut Sebabkan Ekspor Impor RI Dengan Malaysia Menjadi Terkendala

Published

on

Ilustrasi ikan yang diekspor [katadata]

Nunukan, Bindo.id – Saat ini jalur laut berada dalam sengketa antara kedua negara, sehingga mekanisme ekspor impor ikan dari Pulau Sebatik, Nunukan, Kalimantan Utara, ke Tawau, Negara bagian Sabah, Malaysia, masih mengalami kendala.

“Memang faktanya, jalur yang kita gunakan mengekspor ikan ke Tawau, statusnya masih OBP (Outstanding Boundary Problem). Jadi, mekanisme pengiriman ikan masih sangat tradisional meski dilengkapi perizinan ekspor,” tutur Kepala Pelabuhan Perikanan SKPT Sebatik, Suparmoko, Senin (7/10/2024).

Dikirim dengan cara tradisional

Sampai saat ini, ekspor ikan dari kapal-kapal luar Nunukan, misalnya dari Kota Tarakan, akan melakukan transit di dermaga PSDKP Sebatik.

Ikan-ikan tersebut akan dilansir ke kapal jongkong, selanjutnya muatan ikan jenis ekspor akan diteruskan ke Tawau, Malaysia.

Suparmoko menuturkan sengketa jalur lintas batas memaksa mekanisme ekspor dilaksanakan dengan menggunakan kapal kayu.

“Dengan dilengkapi semua perizinan, mulai dari sertifikat yang dikeluarkan Balai Karantina Ikan, PEB (Pemberitahuan Ekspor Barang) yang diterbitkan Bea Cukai, sampai pada Surat Keterangan Asal (SKA) yang diterbitkan Dinas Perdagangan,” ujarnya.

Walaupun kapal pengangkut ikan dari PSDKP berupa kapal jongkong, namun kelengkapan dokumen ekspor tetap diharuskan.

Permasalahan Impor Ikan Juga Jadi Tantangan

Kata Suparmoko, tantangan yang lebih besar ada pada mekanisme impor.

Dirinya mengakui impor ikan dari Tawau masih sangat sensitif, sebab saat ini masih lebih dominan memakai sistem tradisional, serta mempertimbangkan kebijakan lokal yang ada di daerah perbatasan.

“Jadi, harus diakui, kita mengekspor ikan dengan hitungan ekonomi yang lebih mahal. Begitu kita pulang, kita bawa ikan-ikan demersal kecil yang memang jauh lebih murah secara ekonomi,” ujarnya.

Komoditas yang diekspor ke Tawau biasanya berupa ikan jenis demersal, bandeng, kepiting, serta ikan-ikan yang memiliku harga cukup mahal.

Sedangkan ikan yang masuk ke Nunukan berupa ikan-ikan kecil, demersal, ikan layang, maupun sejenisnya.

Suparmoko menerangkan nelayan yang ada di Kalimantan Utara masih didominasi oleh nelayan tradisional. Mereka hanya dapat menangkap ikan di kedalaman 8 mil.

Sedangkan nelayan Tawau bisa menangkap ikan lada kedalaman 12 mil di bawah laut dengan memakai alat tangkap yang lebih modern.

“Jadi, memang sampai saat ini, kami masih memperjuangkan bagaimana lalu lintas pelayaran ikan dari Sebatik ke Tawau dapat segera diselesaikan. Ini adalah masalah antarnegara, sama persis dengan PLBN Sebatik,” ujar Suparmoko.

Permasalahan ini juga sering menimbulkan polemik, di mana pejabat kelautan yang ada di Jakarta mengamankan kapal nelayan Kaltara yang mengimpor ikan.

Biasanya kapal-kapal itu terpasang dua bendera yakni bendera Indonesia dan Malaysia, walaupun belum layak untuk mengimpor.

Saat aturan itu diberlakukan secara ketat, hal ini justru memicu gejolak di masyarakat.

Misalnya, peristiwa yang terjadi ketika Covid-19 tahun 2021 silam yang menunjukkan dampak signifikan.

Malaysia saat itu menutup jalur perdagangan ikan. Hal ini menyebabkan kerugian nelayan serta penurunan harga ikan. Dampaknya ekonomi mereka benar-benar terpuruk serta menimbulkan pengangguran.

“Ini menjadi dilema kita di perbatasan negara. Keadaan jalur laut Sebatik-Tawau dan sebaliknya, masih dianggap abu-abu. Penerapan aturan justru menghancurkan ekonomi masyarakat. Kita berharap ini segera menjadi perhatian pusat,” ujar Suparmoko.

Ikuti berita terkini dari BINDO di
Google News, YouTube, dan Dailymotion

Advertisement
Berikan Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *